Setelah cukup lama ditunggu, akhirnya Xiaomi resmi hadir di Indonesia beberapa hari yang lalu. Sebenarnya, rencana ini sudah terdengar sejak diselenggaraknnya Indonesia Cellular Show bulan Juni lalu. Kala itu, Vice President for International Marketing Xiaomi, Hugo Barra telah bertandang ke Indonesia, dan berjanji akan meluncurkan produknya di Indonesia sekitar akhir Agustus. Sebagai langkah awal, vendor yang baru berusia tiga tahun ini telah meluncurkan situs internet dengan menggunakan bahasa Indonesia. Semoga saja, dalam waktu yang dekat akan segera disusul dengan peluncuran  produk-produk andalannya seperti RedMi dan Mi3.
Baca juga: Review, harga & spesifikasi Xiaomi Mi3
Perlu diketahui, selama ini kesuksesan Xiaomi diraih berkat konsep marketing yang unik. Mereka tidak langsung melauncurkan beberapa produk sekaligus untuk persiapan beberapa bulan ke depan, namun hanya melayani penjualan produk melalui toko online dalam jumlah terbatas. Sebelum produk mereka resmi dijual, pihak Xiaomi terlebih dahulu membuka layanan pre-order (pemesanan). Lalu setelah barang tersedia, para pembeli tinggal mengambil barang pesanannya tanpa butuh waktu yang lama. Tak pelak, hal ini menjadikan penjualan produk Xiaomi begitu fantastis dan fenomenal. Sebut saja yang baru saja terjadi di India, 15 ribu unit Xiaomi Mi3 talah ludes terjual hanya dalam waktu dua detik saja. Begitu pula yang terjadi di Singapura, RedMi Note mampu terjual 5000 unit dalam waktu 75 detik. Dengan realitia penjualan yang seperti ini, layak jika Xiaomi ungguli Samsung dan smartphone ternama lainnya di negri asalnya, yakni Tiongkok.
Meski strategi marketing Xiaomi berhasil membukukan rekor penjualan yang fenomenal, bukan berarti tanpa disertai kontroversi. Taiwan Fair Trade belum lama ini menuduh Xiaomi telah melakukan ‘hunger marketing’ yang berarti melebih-lebihkan suatu produk, sehingga produk yang ditawarkan menjadi tampak begitu berharga dan susah diperoleh. Jika ternyata kampanye ‘hunger marketing’ ini benar-benar terbukti, maka Xiaomi akan terkena denda sebesar 20.000 dolar AS. Meski nilai ini bukan jumlah yang begitu berarti bagi Xiaomi, tentu hal ini kurang lebih akan merusak reputasi Xiaomi.
Bagaimana dengan strategi yang diterapkan di Indonesia? Jika konsep marketing yang biasa disebut ‘Flash Sale’ ini juga dilakukan oleh Xiaomi, tentu kita tidak perlu antri berlama-lama untuk mendapatkan Xiaomi. Tinggal pesan secara online, dan menunggu produk tersebut keluar. Hal ini juga harus diantisipasi oleh para vendor baik local maupun global yang sudah lama bermain di pasar Indonesia, karena ancamannya bukan cuma dari segi harga dan spesifikasi produk yang ditawarkan Xiaomi, namun strategi penjualannya yang kreatif. Bagaimana hasilnya nanti? Kita tunggu saja kabar terbarunya. Akankah metode Xiaomi kali ini juga akan efektif dan cocok bagi kebiasaan calon pembeli di Indonesia?